Selasa, 26 Oktober 2010

PERGILAH BERSAMA BAYANGAN ADAM

Gemericik air diatas bebatauan yang rindang. Bening. Mengalir tanpa beban yag berarti. Mengukir celah demi celah yang di lewati tanpa rencana tanpa duka dan kecewa tentunya. Air itu pasrah saja kemana anak sungai membawanya bermuara. Pada jurang yang terjal sekalipun.justru keadaan itulah yang membuatnya makin bermakna. Menciptakan keindahan di alam semesta.
Sesekali Adnan melempar kerikil kecil ke arah sungai yang di anggapnya dalam. Berharap seseorang, mugkin juga malaikat, setidaknya ikan-ikan kecil muncul dari balik air sungai kemudian menghiburnya dari kegundahan penantian selama 30menit ini. Adnan tetap saja melantunkan lamunan panjang beriring gemericik sungai. Tanpa menyadari ada langkah kaki menghampiri.
“Bodoh!!! Sungai di sini dangkal dan berbatu, mana bisa Abang lempar-lempar kerikil kaya gitu.”
“Kenapa baru datang?”
“Maaf, tadi ada sedikit tugas dari Abah”
“Biasa. Abahmu selalu punya seribu satu alasan untuk menghalangi kita bertemu.”
“Sudahlah Bang, kan dah biasa kucing-kucingan.”
“Makanya ayo kita pergi dari kampung yang tidak pernah punya tempat untuk cinta kita.”
“Maaf Bang, aku tidak mau jadi kerdil yang pengecut”
Adnan diam seiring jawaban Nisa, gadis itu menatapnya dengan sejuta harapan. Dalam benaknya dia merasa menjadi gadis yang sangat bodoh. Tiap menjelang sore harus kucing-kucingan dengan Abahnya hanya untuk bertemu dengan pria ini di sini. Seharusnya Nisa hanya perlu duduk manis dan menerima lamaran pria manapun yang dia cintai. Dia cantik, cerdas, berpendidikan tinggi,baik tentunya. Sebagai anak gadis seorang tuan tanah yang cukup kaya apa yang ia sebutkan dari mulut manisnya akan mudah terkabul oleh Abahya. Kecuali keinginannya menikah dengan Adnan.
Entahlah apa yag kurang dari seorang Adnan dihadapa Abahnya, orang yag paling Nisa sayangi setelah Emak meninggal karena kista yang diderita. Kekayaan orang tua Adnan 11,12 dari kekayaan orang tua Nisa. Pendidikan Adnan tak kalah dari Nisa. Adnan adalah seorang parajurit TNI AD, bahkan Adnan mewarisi 70% dari kekayaan orang tuanya. Dia tampan, baik.
Setiap kali nisa mencoba meyakinkan Abah mengenai Adnan, abah hanya menjawab “sayang ya Nis, Adnan di lahirkan ditengah keluarga Baskoro” tanpa ada penjelasan lain. Ada apa antara Abah dan orang tua Adnan? Nisa tak pernah tahu. Karena Abah tidak pernah memberi tahu pada siapapun, pada pembaca sekalipun. Tampaknya ada luka di Hati abah setiap membicarakan keluarga Adnan. Setiap kali nisa menagih janji Abahnya saat Nisa berusia 17 tahun, kalau abah akan merestui siapapun pilihanya Abah hanya menjawab “kecuali dia”. Setiap kali Nisa bertanya apa alasan Abah tidak menyukai Adnan Abah hanya menjawab “Abah menyukai dia Nis, hanya saja abah tidak mau kelak cucu abah tumbuh degan keangkuhan.” selalu saja teka-teki yang Abah berikan pada Nisa.
Kesedihan Nisa makin menjadi saat Adnan memberanikan diri melamar nisa kepada Abah. Abah benar-benar menolaknya. Masih jelas di memori Nisa kata-kata Abah selepas Adnan berlalu dari rumahnya. “jangan pernah memaksa Abah untuk menerima pilihanmu kalau kamu tidak ingin Abah memaksamu untuk pilihan Abah.”
Nisa masih memandangi air sungai yang mengalir melewati celah-celah bebatuan. Masih di samping Adnan kekasih yang dicintainya. Suaranya sedu mengusik jiwa yang punya asa. Membangunkan angin yang kemudian berhembus menyibakkan daun-daun dan menyibakan rambut hitam miliknya.
“Sampai kapan kita seperti ini Bang?”
“Sampai Kau meyakinkan Abahmu. Kalau Aku sungguh-sungguh terhadapmu.”
Sejenak Nisa terhenyak dengan jawaban Adnan. “Kau”. Kenapa hanya Aku? Yang harus meyakinkan Abah. Kenapa Abang berkata kau bukan kita. Apa dia pikir semua ini salahku? Di mana tanggung jawabnya? Hingga seenak hatinya dia berkata kau. Semua selidik masih tersimpan rapi di hati Nisa. Dengan mata bening yang berkaca. Mata yang terlalu indah jika harus bersanding denga tangis dan duka.
“Nis,,,,,,,,,,”
“Iya”
“Ayo Nis pergi dari sini bersamaku. Meninggalkan kampung ini dan keangkuhan Abahmu”
“Tidak bang! Bukan Abah yang angkuh tapi keluarga Abang! Nisa mencintai Abang, tapi Nisa lebih mencintai Abah”
“Kalau begitu tidak usah kamu berkata mencintaiku Nis!!! Kamu tidak pernah mau berkorban apapun demi Aku!!!”
“Bang,,,,,,,”
Hanya jawaban itu yang meluncur dari bibir Nisa. Takut, sedih, kecewa akan kemarahan Adnan membuatnya membisu. Tak pernah Adnan semarah itu. Sepanjang sejarah kebersamaan mereka. Apa lagi kata-katanya. Apakah selama ini Bang Adnan tidak pernah merasakan pengorbananku? Aku bertengkar dengan Abah untuk dia, berbohong sama abah untuk dia. Padahal Abah adalah orang yag paling nisa sayangi, yang selayaknya nisa hormati. Di mana letak bakti nisa pada Abahnya? Kalau Bang Adnan menuntut pengorbanan dari Nisa lalu apa yang harus Nisa tuntut dari Bang Adnan? Kalau hanya meyakinkan hati Abah saja dia tidak bisa.
Bening mata Nisa mulai meleleh, tanpa sedu. Tapi air mata itu gugur satu demi satu. Tak ada yang dapat Nisa rasakan dan katakan. Kecuali sakit dan kecewa. Raut wajah Abah yang semakin tua terbayang di pelupuknya. Keriput Abah yang menggambarkan pengorbanan makin nyata di hadapannya. Nisa merasa semua kebohongannya terhadap Abah adalah sembilu di hatinya.
“Jawab Nis! Surat tugasku ke Medan sudah ku terima. Kalau memang kamu mencintaiku ikutlah denganku dan kita akan menikah di sana. Satu yang harus kamu tahu, aku akan pergi dengan atau tanpa kamu.”
Nisa menghela nafas. Dalam. Masih bisu dengan sejuta kegundahan. Apa mungkin dia akan merelakan orang yang dia cintai pergi begitu saja. Orang yang telah mengukir mimpi indahya. Orang yang telah melukis harap tentang kebahagiaan. Tapi bagaimana dengan abah? Apa aku harus meninggalkannya di usianya yang telah renta? Sedangkan Abah telah memberikan semua yang Abah punya untuk hidupku. Gusti,,,,,,,,,,,,,apa benar tidak ada pemersatu untuk Bang Adnan dan Abah. Kenapa tak Kau izinkan aku bersanding dengan dengan keduanya? Aku mencintainya. Kenapa tak Kau biarkan aku mati saja Gusti. Sejenak wajah Abah begitu jelas di matanya. Tersenyum. Menyulurkan sejuta kasih sayang.
“Datanglah kerumah bang, bersama kedua orang tuamu! Minta izin sama Abah supaya aku bisa ikut kamu ke Medan.”
“Apa belum cukup Nis penolakan Abahmu terhadapku? Apa kau juga akan mempermalukan aku dan kedua orag tuaku atas penolakan Abahmu nanti?”
“Semua itu belum terjadi Bang. Kita belum pernah mencoba mempertemuka kedua orangtua kita.”
Keduanya berpisah menapaki jalan setapak. Tak ada kebersamaan, karena mereka memilih jalannya sendiri-sendiri.
Angin berhembus mempertemukan putik denga benangsari. Membuatnya berbuah dan mekar kembali. Indah. Seperti halnya Nisa telah benar-benar tumbuh denga kedewasaan dan keindahan yag dimiliki oleh wanita sempurna. 1tahun sudah dia menanti Adnan datang dengan kedua orangtuanya. Sia-sia. Tanpa kabar apapun Adnan pergi meninggalkannya tepat di tepi anak sungai ini. Dalam hati Nisa masih menyimpan luka yang hanya dia yang dapat merasakannya. Kadang ratapan pun tak berguna karena Adnan benar-benar hilang tanpa jejak yang disisaka. Tak ada apapun yang ia janjikan untuk Nisa. Sekalipun kepastian yang teramat pahit, hanya saja Adnan membuat nisa merasakan kepahitan itu. Apa mungkin ini alasan Abah? Inikah ketakutan Abah? Atau ini kedurhakaanku terhadapnya? Gusti ampuni hamba. Abah maafkan putri yang tak berbakti ini. Izinkan aku menghapus luka dan menggantinya dengan hati yag baru.
Abang, kalau saja angin dapat menyampaikannya,memberi tahumu kalau masih ada dendam menggantikan puing-puing rasa yang tersisa. Rasa yang dulu kita puja. Semua luntur karena sejauh ini aku menyadari bahwa kau bukanlah ksatria berkuda dengan keberaniannya. Kau tak ubah layaknya kerdil dengan sejuta kemunafikan. Pergilah bersama bayangan Adam! Tanpa menuruti sifatnya. Tanpa menuruti kesetiannya menati dipertemukan dengan Hawa. Pergilah! Karena diatas jabalnur ada adam lain yang menantiku. Jangan pernah menanyakan kesetiaan kepadaku! Karena semua ini kau penyebabnya.




Semarang, 21 okt 10
11.19pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar