Rabu, 15 Desember 2010

UNTUK CALON YANG DIPILIH ALLAH UNTUKKU

Sunyi yang melebur malam dini hari. Itulah saksi.
Bahwa, di sana kau juga menatap rembulan yg redup bersinar.
Karena aku melihat resahmu di pantulan sinarnya.
Wahai jiwa yg tercipta untukku
dimana aku dapat temui ragamu?
Wahai hati yang tertulis namaku
kapan kan tersadari?
Wahai kau yang bertakdir merindukanku
kapan kan kau curahkan kasihmu?
Wahai insan yang di tangannya telah tergores takdir bersamaku
mungkin saja kau rasa
lewat malam ijabah paling suci jiwaku yg resah akan takdir menengadah tinggi dengan hati rendah.
wahai kau yg diridhai Allah untukku aku tahu fatekhahku akan sampai ke hatimu.

Selasa, 26 Oktober 2010

PERGILAH BERSAMA BAYANGAN ADAM

Gemericik air diatas bebatauan yang rindang. Bening. Mengalir tanpa beban yag berarti. Mengukir celah demi celah yang di lewati tanpa rencana tanpa duka dan kecewa tentunya. Air itu pasrah saja kemana anak sungai membawanya bermuara. Pada jurang yang terjal sekalipun.justru keadaan itulah yang membuatnya makin bermakna. Menciptakan keindahan di alam semesta.
Sesekali Adnan melempar kerikil kecil ke arah sungai yang di anggapnya dalam. Berharap seseorang, mugkin juga malaikat, setidaknya ikan-ikan kecil muncul dari balik air sungai kemudian menghiburnya dari kegundahan penantian selama 30menit ini. Adnan tetap saja melantunkan lamunan panjang beriring gemericik sungai. Tanpa menyadari ada langkah kaki menghampiri.
“Bodoh!!! Sungai di sini dangkal dan berbatu, mana bisa Abang lempar-lempar kerikil kaya gitu.”
“Kenapa baru datang?”
“Maaf, tadi ada sedikit tugas dari Abah”
“Biasa. Abahmu selalu punya seribu satu alasan untuk menghalangi kita bertemu.”
“Sudahlah Bang, kan dah biasa kucing-kucingan.”
“Makanya ayo kita pergi dari kampung yang tidak pernah punya tempat untuk cinta kita.”
“Maaf Bang, aku tidak mau jadi kerdil yang pengecut”
Adnan diam seiring jawaban Nisa, gadis itu menatapnya dengan sejuta harapan. Dalam benaknya dia merasa menjadi gadis yang sangat bodoh. Tiap menjelang sore harus kucing-kucingan dengan Abahnya hanya untuk bertemu dengan pria ini di sini. Seharusnya Nisa hanya perlu duduk manis dan menerima lamaran pria manapun yang dia cintai. Dia cantik, cerdas, berpendidikan tinggi,baik tentunya. Sebagai anak gadis seorang tuan tanah yang cukup kaya apa yang ia sebutkan dari mulut manisnya akan mudah terkabul oleh Abahya. Kecuali keinginannya menikah dengan Adnan.
Entahlah apa yag kurang dari seorang Adnan dihadapa Abahnya, orang yag paling Nisa sayangi setelah Emak meninggal karena kista yang diderita. Kekayaan orang tua Adnan 11,12 dari kekayaan orang tua Nisa. Pendidikan Adnan tak kalah dari Nisa. Adnan adalah seorang parajurit TNI AD, bahkan Adnan mewarisi 70% dari kekayaan orang tuanya. Dia tampan, baik.
Setiap kali nisa mencoba meyakinkan Abah mengenai Adnan, abah hanya menjawab “sayang ya Nis, Adnan di lahirkan ditengah keluarga Baskoro” tanpa ada penjelasan lain. Ada apa antara Abah dan orang tua Adnan? Nisa tak pernah tahu. Karena Abah tidak pernah memberi tahu pada siapapun, pada pembaca sekalipun. Tampaknya ada luka di Hati abah setiap membicarakan keluarga Adnan. Setiap kali nisa menagih janji Abahnya saat Nisa berusia 17 tahun, kalau abah akan merestui siapapun pilihanya Abah hanya menjawab “kecuali dia”. Setiap kali Nisa bertanya apa alasan Abah tidak menyukai Adnan Abah hanya menjawab “Abah menyukai dia Nis, hanya saja abah tidak mau kelak cucu abah tumbuh degan keangkuhan.” selalu saja teka-teki yang Abah berikan pada Nisa.
Kesedihan Nisa makin menjadi saat Adnan memberanikan diri melamar nisa kepada Abah. Abah benar-benar menolaknya. Masih jelas di memori Nisa kata-kata Abah selepas Adnan berlalu dari rumahnya. “jangan pernah memaksa Abah untuk menerima pilihanmu kalau kamu tidak ingin Abah memaksamu untuk pilihan Abah.”
Nisa masih memandangi air sungai yang mengalir melewati celah-celah bebatuan. Masih di samping Adnan kekasih yang dicintainya. Suaranya sedu mengusik jiwa yang punya asa. Membangunkan angin yang kemudian berhembus menyibakkan daun-daun dan menyibakan rambut hitam miliknya.
“Sampai kapan kita seperti ini Bang?”
“Sampai Kau meyakinkan Abahmu. Kalau Aku sungguh-sungguh terhadapmu.”
Sejenak Nisa terhenyak dengan jawaban Adnan. “Kau”. Kenapa hanya Aku? Yang harus meyakinkan Abah. Kenapa Abang berkata kau bukan kita. Apa dia pikir semua ini salahku? Di mana tanggung jawabnya? Hingga seenak hatinya dia berkata kau. Semua selidik masih tersimpan rapi di hati Nisa. Dengan mata bening yang berkaca. Mata yang terlalu indah jika harus bersanding denga tangis dan duka.
“Nis,,,,,,,,,,”
“Iya”
“Ayo Nis pergi dari sini bersamaku. Meninggalkan kampung ini dan keangkuhan Abahmu”
“Tidak bang! Bukan Abah yang angkuh tapi keluarga Abang! Nisa mencintai Abang, tapi Nisa lebih mencintai Abah”
“Kalau begitu tidak usah kamu berkata mencintaiku Nis!!! Kamu tidak pernah mau berkorban apapun demi Aku!!!”
“Bang,,,,,,,”
Hanya jawaban itu yang meluncur dari bibir Nisa. Takut, sedih, kecewa akan kemarahan Adnan membuatnya membisu. Tak pernah Adnan semarah itu. Sepanjang sejarah kebersamaan mereka. Apa lagi kata-katanya. Apakah selama ini Bang Adnan tidak pernah merasakan pengorbananku? Aku bertengkar dengan Abah untuk dia, berbohong sama abah untuk dia. Padahal Abah adalah orang yag paling nisa sayangi, yang selayaknya nisa hormati. Di mana letak bakti nisa pada Abahnya? Kalau Bang Adnan menuntut pengorbanan dari Nisa lalu apa yang harus Nisa tuntut dari Bang Adnan? Kalau hanya meyakinkan hati Abah saja dia tidak bisa.
Bening mata Nisa mulai meleleh, tanpa sedu. Tapi air mata itu gugur satu demi satu. Tak ada yang dapat Nisa rasakan dan katakan. Kecuali sakit dan kecewa. Raut wajah Abah yang semakin tua terbayang di pelupuknya. Keriput Abah yang menggambarkan pengorbanan makin nyata di hadapannya. Nisa merasa semua kebohongannya terhadap Abah adalah sembilu di hatinya.
“Jawab Nis! Surat tugasku ke Medan sudah ku terima. Kalau memang kamu mencintaiku ikutlah denganku dan kita akan menikah di sana. Satu yang harus kamu tahu, aku akan pergi dengan atau tanpa kamu.”
Nisa menghela nafas. Dalam. Masih bisu dengan sejuta kegundahan. Apa mungkin dia akan merelakan orang yang dia cintai pergi begitu saja. Orang yang telah mengukir mimpi indahya. Orang yang telah melukis harap tentang kebahagiaan. Tapi bagaimana dengan abah? Apa aku harus meninggalkannya di usianya yang telah renta? Sedangkan Abah telah memberikan semua yang Abah punya untuk hidupku. Gusti,,,,,,,,,,,,,apa benar tidak ada pemersatu untuk Bang Adnan dan Abah. Kenapa tak Kau izinkan aku bersanding dengan dengan keduanya? Aku mencintainya. Kenapa tak Kau biarkan aku mati saja Gusti. Sejenak wajah Abah begitu jelas di matanya. Tersenyum. Menyulurkan sejuta kasih sayang.
“Datanglah kerumah bang, bersama kedua orang tuamu! Minta izin sama Abah supaya aku bisa ikut kamu ke Medan.”
“Apa belum cukup Nis penolakan Abahmu terhadapku? Apa kau juga akan mempermalukan aku dan kedua orag tuaku atas penolakan Abahmu nanti?”
“Semua itu belum terjadi Bang. Kita belum pernah mencoba mempertemuka kedua orangtua kita.”
Keduanya berpisah menapaki jalan setapak. Tak ada kebersamaan, karena mereka memilih jalannya sendiri-sendiri.
Angin berhembus mempertemukan putik denga benangsari. Membuatnya berbuah dan mekar kembali. Indah. Seperti halnya Nisa telah benar-benar tumbuh denga kedewasaan dan keindahan yag dimiliki oleh wanita sempurna. 1tahun sudah dia menanti Adnan datang dengan kedua orangtuanya. Sia-sia. Tanpa kabar apapun Adnan pergi meninggalkannya tepat di tepi anak sungai ini. Dalam hati Nisa masih menyimpan luka yang hanya dia yang dapat merasakannya. Kadang ratapan pun tak berguna karena Adnan benar-benar hilang tanpa jejak yang disisaka. Tak ada apapun yang ia janjikan untuk Nisa. Sekalipun kepastian yang teramat pahit, hanya saja Adnan membuat nisa merasakan kepahitan itu. Apa mungkin ini alasan Abah? Inikah ketakutan Abah? Atau ini kedurhakaanku terhadapnya? Gusti ampuni hamba. Abah maafkan putri yang tak berbakti ini. Izinkan aku menghapus luka dan menggantinya dengan hati yag baru.
Abang, kalau saja angin dapat menyampaikannya,memberi tahumu kalau masih ada dendam menggantikan puing-puing rasa yang tersisa. Rasa yang dulu kita puja. Semua luntur karena sejauh ini aku menyadari bahwa kau bukanlah ksatria berkuda dengan keberaniannya. Kau tak ubah layaknya kerdil dengan sejuta kemunafikan. Pergilah bersama bayangan Adam! Tanpa menuruti sifatnya. Tanpa menuruti kesetiannya menati dipertemukan dengan Hawa. Pergilah! Karena diatas jabalnur ada adam lain yang menantiku. Jangan pernah menanyakan kesetiaan kepadaku! Karena semua ini kau penyebabnya.




Semarang, 21 okt 10
11.19pm

Jumat, 22 Oktober 2010

BAPAK

Aku mencoba menghitung keriput di wajahnya, di tangan dan semua sudut yang dapat dan bisa aku jangkau. Sungguh aku tak mampu menghitungnya walau jari-jari semua manusia di dunia ini ku jadikan media. Kali ini aku pandang rambutnya, sebenarnya aku sungguh ingin menghitung setiap helai rambut putihnya. Jika seumur hidup yang aku punya ku habiskan untuk melakukan itu aku percaya tidak semua rambut putih itu dapat terhitung oleh tangan dan umurku. Sesekali ku belai rambut putih itu, aku pijit tubuhnya dan kurasakan setiap sentuhan keriput Bapak di ujung jemariku. Aku bahagia karena dapat menjaganya, memijitnya disaat senja seperti ini setelah aku pulang kerja. Capek? Tidak, aku tidak pernah merasa capek untuknya apalagi ada senda gurau Ibu yang setiap saat menghiburku. Apakah ini yang dirasakan Bapak sama Ibu dulu, waktu aku balita? Tapi aku rasa tidak, karena semua ini belum dapat membalas apa yang telah mereka berikan untuk hidupku. Jasa-jasa Bapakku, dari Bapak memilihkan calon Ibu untukku (tentunya sebelum aku ada) seorang Ibu yang penuh dengan ketulusan dan pengabdian. Sampai upayanya mencerdaskan dan merangkai masa depanku. Tentunya banyak hal yang beliau berikan padaku yang tidak dapat tertuang disini. Dan satu hal yang tak pernah ku sesali, Bapak selalu memaksakan kehendaknya (tentunya hal-hal yang baik) padaku. Yang sejauh ku sadari hal itu membentuk pribadi yang positif dan membuat aku bertindak, berfikir sesuai umurku.
* * *

“Aku teringat dulu saat aku lulus SMK. Aku punya impian besar tentang Jakarta. Aku pikir Jakarta dapat mengubahku, orang tuaku dan perekonomian kami. Aku pikir disanalah gerbangku meraih masa depan. Berfikir simple seperti gadis-gadis desa lain, bekerja di Jakarta, bertemu jodoh dan kemudian menikah. Tapi semua harapan itu pupus dan aku harus menguburnya dalam-dalam karena Bapak tidak pernah memberi restu untuk hal itu. Bapak mempunyai cita-cita dan harapan yang tinggi tentang aku.
“Sudahlah Pak, aku nggak mau ngrepotin Bapak”
“Justru kalau kamu nggak mau kuliah kamu ngrepotin Bapak”
“Tapi kita kan cuma orang desa Pak. Lagian aku gak mau Bapak sampai jual sawah buat nguliahin aku. Aku dah tamat SMK saja dah lebih dari cukup”
“Emang orang desa nggak boleh pinter? Kamu tu ragile Bapak nek mbesuk kamu dewasa Bapak sudah tidak ada, senggak-nggaknya Bapak sudah membekali kamu dengan ilmu yang akan memulyakan hidupmu.”
“Tapi bekerja di Jakarta juga bisa nabung, beli sawah, kebun untuk infestasi masa depanku”
“(nada bicara Bapak meninggi) Jakarta itu tak semudah yang kamu pikir. Lagian Bapak bukan menginginkan kamu punya materi berlimpah tapi Bapak juga pengin kamu punya ilmu yang bisa kamu amalkan di kampung kita ini. Sudahlah kamu nggak punya pilihan, besok ke kota sama Bapak ndaftar ke kuliahmu.”
Aku terdiam bersama butiran-butiran kristal di mataku. Aku merasa sudah tidak ada hak di dunia ini untukku. Aku sudah tidak ada daya untuk membuatnya mengerti aku dan ini yang kesekian kalinya aku beradu argumen dengan Bapak dan seperti biasa ada Ibu ditengah-tengah kami mendamaikan kami.

* * *
Tanpa perlawanan akhirnya aku menuruti semua keinginan Bapak. Aku fikir mungkin Bapak benar. Materi tanpa sebuah ilmu akan hampa. Dan Bapak pengin kedua sisi itu ada pada diriku kelak. Aku ke kota dengan semangat, restu, cita-cita dan tentunya sedikit uang yang semuanya adalah milik Bapak bukan aku. Mungkin aku dilahirkan untuk menjadi robot remot kontrolnya Bapak. Ya….dari kecil setiap apa yang aku perbuat adalah perintah Bapak, tidak pernah aku bergerak dengan tubuhku tidak pernah aku berdiri diatas kakiku sendiri. Belum pernah aku merasa segundah ini. Aku benar-benar takut Ibu dan Bapakku kerepotan karena biaya kuliahku. Hatiku teriris saat aku tahu ternyata Bapak meminjam uang kepada adiknya Ibu, sebesar……..ah…….aku tidak kuasa untuk menyebutkannya dan ternyata uang itu adalah uang yang aku pegang sekarang untuk biaya pendaftaran kuliahku. Memang saat ini padi di sawah Bapakku belum siap dipanen tapi kenapa Bapak merahasiakan pinjamannya, kenapa harus orang lain yang memberitahuku. Apa Bapak malu padaku? Atau Bapak tidak mau aku merasakan kesulitannya? Bapak memang kerap memperlakukan aku seperti ini memaksaku dengan kehendaknya, merahasiakn setiap perih dan susah dihatinya dan memberi setiap yang dia punya. Apa bagi Bapak aku bayi? Jujur, kuliah adalah impian dihidupku, tapi aku tidak pernah mengutarakannya bahkan aku harus berpura-pura tidak menginginkan kuliah di depan Bapak dan Ibuku, karena aku tidak mau hal ini terjadi.

* * *
Sekarang aku adalah mahasiswi di perguruan tinggi yang cukup terkenal di sebuah kota yang sangat panas. Aku hidup di sebuah kos-kosan yang sangat murah dibanding dengan teman-teman sekelasku yang lain. Kalau ditanya keadaannya, ya tentunya sesuai dengan harganya, bagiku dapat berteduh saat panas dan hujan itu sudah lebih dari cukup. Kadang-kadang aku ingin seperti teman-teman yang lain jalan-jalan ke pusat perbelanjaan untuk sekedar menikmati es krim di kafe, tapi aku kubur semua keinginan itu. Aku harus selalu mengingat betapa Bapak susah payah mengelola sawah dan kebun agar menghasilkan uang untuk kuliahku. Jadi sedapat mungkin aku harus prihatin dan tidak boros.
Aku hidup memang dari tangan dingin Bapak dan Ibu yang mengelola kebun dan sawah peninggalan kakek. Di kebun dan sawah itu terdapat macam-macam tumbuhan ya sudah barang tentu ada padi. Itu penghasilan terbesar Bapak. Ada juga cabe, timun, kacang panjang, pete, rambutan, mangga. Semua itu adalah sumber kehidupan keluargaku. Aku menimba ilmu di kota panas ini juga bermodal dari keuletan Bapak.
Aku bersyukur mempunyai orang tua yang Cuma seorang petani biasa, yang hanya mengenai huruf latin dari A sampai Z dan huruf hijaiyah dari alif sampai ya, tapi mereka mempunyai jalan fikiran yang panjang, maju. Mereka pengin aku menjadi seorang sarjana dan mempunyai peran di masyarakat dengan keterbatasan materi yang mereka miliki. Dan kedua orang tuaku tidak pernah mengenal putus asa dalam mewujudkan hal itu. Padahal aku kadang takut Bapak Ibuku kehabisan akal mendapatkan uang untuk membayar sks ku, aku takut Bapak menjual kebun dan sawahnya, karena cuma itu yang mereka punya. Aku bersyukur ketiga saudaraku yang sudah berumah tangga masih memperdulikan kami dan sedikit banyak membantu Bapak menguliahkan aku.

* * *
Awan yang menggelayut pilu dan matahari mengintip dibaliknya, membuat siang yang panas menjadi redup dan cuaca seperti ini membuat badanku sedikit meriyang. Terbersit keinginan dibenakku untuk menelfon Bapak. Ya aku kangen dengan semua aturan-aturan tak tertulis yang dibuat Bapak di rumah, aku pun masih mematuhinya waktu aku jauh dari Bapak. Bagiku aturan tetaplah aturan walau si pembuat aturan tak mengawasi. Tapi aku kangen setiap Bapak mengingatkanku setiap aku melanggar. Berbicara dengan nada keras tapi tetap lembut terdengar. Aku juga kangen suara Ibu yang cempreng tapi penuh kasih saying. Sebenarnya sih aku mau meminta uang bulananku yang hampir habis.
“Halo” suara di seberang memekik di telingaku.
“Halo mba Mar, maaf mengganggu boleh minta tolong, aku mau bicara sama Bapak”
“O…Bapakmu masih di sawah. Ntar habis dhuhur kamu nelpon lagi saya”
“Ya sudah mba nanti aku telepon lagi, makasih ya mba” Ku tutup teleponku.
Kini matahari tak lagi mengintip di balik awan, siang telah dikuasainya dan awan-awan pun terbang menghinggapi perasaanku. Aku sedih karena panas-panas seperti ini, waktunya orang-orang pulas dengan tidur siangnya di bawah kipas angin. Orang-orang kantor menikmati makan siang di kantin favorit yang ruangannya berAC, tapi Bapakku, dia harus bergelut dengan lumpur sawah bersenjatakan cangkul diterik panas seperti ini hanya demi aku, agar nantinya aku jadi orang. Ku tahan setiap butiran-butiran yang hendak menggelinding dari mata ke pipiku. Ku ambil air wudhu. Ku dirikan sholat. Tak lupa ku panjatkan doa untuk Bapak dan Ibu agar Allah melimpahkan segala berkah kepada mereka.
Ku raih HP bututku kembali. Ku coba menghubungi mbak Mar di kampung agar aku bisa bicara dengan Bapak.
“Halo nok. Sebentar ya tak bawa neng omahmu dulu”, sapanya ramah.
“Iya mba”, aku menunggu sampai aku mendengar suara laki-laki separuh baya menyapaku.
“Halo nok, piye kabare? Kuliahmu tetep lancar to?”
“Iya pak kabarku baik-baik saja. Kuliahe lancar ko. Bapak sendiri bagaimana sehat? Ibu juga sehat to?”
“Iya nok, Bapak karo Ibu sehat ko. Kowe ra usah kawatir. Sing penting kamu sehat, sinau tenanan. Piye kamu ada perlu apa?”
“Iya Pak aku selalu mengingat dan melaksanakan nasehat Bapak. Gini Pak uang bulananku sudah habis kalau bisa Bapak segera mengirimnya.”
“Iya nok Bapak tahu tapi maafin Bapak, Bapak belum bisa ngirim uang sekarang karena tanaman timun yang kemarin gagal panen. Dan padinya baru bisa dipanen satu bulan lagi. Bapak harap kamu mengerti, kamu makan seadanya dulu. Sekali lagi maafin Bapak ya nok”
“Iya Pak, aku ngerti. Kalau memang Bapak belum ada tidak usah terlalu dipikirkan. Aku mau cari kerja biar bisa punya uang sendiri buat makan. Ibu mana?”
“Kamu nggak boleh kerja nok ntar kuliahmu terbengkalai. Ibumu sedang keliling jual cabe yang Bapak petik tadi pagi di sawah. Sudah ya Bapak harus ke kebun ada yang harus dikerjakan. Kamu jangan lupa solat, jaga diri baik-baik”
“Iya Pak, Bapak juga baik-baik. Jangan terlalu capek. Sungkem buat Ibu”
Kali ini ku biarkan mataku mengeluarkan butiran-butiran kecil yang menggelinding ke pipi, menetesi seprai biru menimbulkan bercak yang nyaris seperti kristal. Hatiku perih seolah-olah belati menyayat-nyayat perasaanku, bukan karena Bapak tidak bisa mengirimi aku uang tetapi karena Bapak Ibuku begitu gigih memperjuangkan pendidikanku. Yang lebih mengherankanku mereka tidak pernah mengizinkan aku bekerja di sini. Kata mereka, ini saatnya aku belajar bukan bekerja. Saat aku bekerja adalah ketika aku sudah menyandang title sarjana.
Sebenarnya kejadian seperti ini baru pertama kali, tidak biasanya Bapak jujur padaku mengenai kesulitan keuangan. Mereka selalu mengatakan ada saat aku butuh dan memberikan senyuman terbaiknya. Padahal aku tahu betapa berat beban yang mereka rasakan. Apa sekarang Bapak sama Ibu benar-benar dalam keadaan terjepit?

* * *
Seperti biasa, setiap senja sepulang kerja aku selalu memijit Bapak tanpa diminta, kadang Ibu juga ku pijit. Sekarang sudah tidak lagi Bapak ke sawah dan ke kebun, karena semua pekerjaan di sawah dan kebun dilakukan oleh pekerja Bapak. Aku sengaja mencarikan agar Bapak dan Ibu menikmati masa tuanya di rumah tanpa bekerja. Paling sesekali mereka menengok kebun dan sawahnya. Aku masih memijit bahu Bapak, Ibu duduk di sampingku dengan lembut Ibu berkata,
“Kapan kamu nikah nok?”
“Nanti bu kalau saya sudah ngebahagiain Bapak sama Ibu, di jodohin juga mau he………yang penting Bapak sama Ibu bahagia.”
“Kamu tu sudah ngebahagiain kami nduk, kamu sudah sarjana, sudah kerja dan kamu aktif setiap kegiatan di kampung kita. Kamu juga punya peran penting dalam pembangunannya. Dan Bapak sama Ibu akan lebih bahagia kalo kamu menikah.”
Aku tersenyum mendengar ucapan Bapak. Ya Bapak telah menjadikanku seseorang di kampung kelahiranku ini dan orang-orang kampung tahu itu tapi orang-orang kampung tidak tahu bahwa jasa-jasa Bapak jauh lebih banyak dari uban dan keriputnya.


Semarang, 19 Desember 2008


Untuk Bapak sama Ibu
yang membuat aku mandiri
ditengah kota yang panas ini.

Telah diterbitkan dalam antologi cerpen
dengan judul BILA BULAN JATUH CINTA

Rabu, 22 September 2010

KAU BALUT LUKA DENGAN JILBABMU

Ya Allah aku tak kuasa melihatnya, wajah putihnya berubah merah. Bagai kepiting rebus lunak siap santap. Karena air mata yang tertahan di pelupuk mata. Ingin aku menenggelamkannya ke dadaku agar segala beban tersandar, agar segala kerinduan tercurahkan. Agar dia tahu ada aku yang selalu ada untuknya ada aku yang akan menghapus air matanya.
“kenapa minta pulang?”
“capek, disini dari sore. lagian kalo pulangnya telat entar kena marah sama bunda”
Nesya berlalu menuju parkiran, kutarik tangannya dia menoleh. Aku melihat air matanya terjatuh membasahi pipi, dagu dan jilbab yang dikenakannya.
“secapek apa sih? Sampai Nesya nangis kaya gini?
“siapa yang nangis. Tadi kena debu tahu!”
“ya udah kalo nggak mau ngaku. Kalo ntar dada kamu meledak gak sah minta tolong ya!”
“yyyeeeeeeeeee,,,,,,,,,,,,,,,,,, bom waktu kali!”
Ku stater motorku meninggalkan cafe faforit kita. Berjalan ke arah selatan menyusuri jalan penuh kenangan . kami bisu diantara lalu lalang kendaraan. Sebenarnya banyak pertanyaan di benakku. Apa yang terjadi pada Nesya? Kulihat traffic lamp berwarna merah. Aku mengerem motorku tepat di tangah-tengah pengemudi kendaraan yang lain.
“Kita belok kiri aja.”
“Belok kiri??? Kita kan mau pulang. Kalo mau belok kiri ngapain tadi kita berhenti?”
“Halooo Rama yang super cute. Yang berhenti kamu kaliiiii bukan kita! Lagian supirnya siapa lagi. Aku belon pengin pulang. Masih pengin di sini ngademin ati”
“Ya udah pulang aja sana! Masukin frezer”
Aku jadi kaya orang utan yang baru masuk kota melihat traffic lamp buta huruf lagi. Sudah jelas ada tulisan KIRI JALAN TERUS la ini belok kiri pake acara berhenti nungguin trafic lamp berubah kuning . rasa-rasanya semua pengendara di sekitarku menertawaiku tanpa ampun. Aku masih menyusuri jalanan kota yang ramai. Ya tentunya masih ada sikecil Nesya di belakangku. Kenapa aku menyebutnya kecil??? Ya..............memang dia kecil. Bayangkan. Tinggi badan 148cm di umur 19th dengan berat badan 40kg. Kadang aku menyebutnya kurcaci. Sudah barang tentu dia marah. Tapi dia nggak akan marah disebut ‘cah cilik’. Dia bilang itu fakta. Bagiku Nesya adalah sahabat,adik,sodara bahkan kadang-kadang jadi musuh (kalo lagi berantem). Dari orok kita sudah bareng. Nesya lahir saat aku mulai balajar merangkak, kata ibu usiaku 2bulan. Dari belajar berjalan, dari TK sampai SMP bahkan di TPQ kita selalu bersama.
Kata Bapak Ibu guru kami, di sekolah maupun di TPQ aku jauh lebih pandai dari Nesya. Hal itu memang terbukti dari hasil rapor kami. Tapi nesya hebat dia selalu berusaha untuk jadi yang lebih unggul dari aku.walupun usahanya bisa dibilang sia-sia. Setiap penerimaan rapor kami selalu punya perjanjian. Siapapun yang lebih unggul dia berhak mendapatkan coklat merek terlezat dari yang tertinggal. Tentu saja aku yang selalu mendapatkan coklat tersebut.tapi aku tidak pernah menikmatinyya sendiri, aku selalu membaginya sama nesya.walaupun aku tidak membaginnya Nesya selalu memintanya secara paksa.
Kita masih melenggang diatas jalan raya. Melewati sebuah bangunan klise. Dulu aku sama Nesya belajar bersama selama enam tahundengan seragam merah putih kebanggaan kami.
“Jadi inget Rama dulu, masih ingusan”
“Sekarang sya???”
“Sekarang upilan. Tu jorok banget!”
“Hihhh,,,,,,,,,,,,,,,,ngatain orang. Dasar!”
“Hahahahahahahaha,,,,,,,,,,,”
Anganku terbang bersama gelak tawa Nesya. Andai kita tidak terpisah saat SMA. Aku pasti bisa ngemong dia dengan jarak yang sangat dekat dan intensif. Tapi apa boleh buat, aku cuma bisa memandang kesemrawutan nesya dengan jarak jauh. Nesya yang cuek, Nesya yang nakal. Sebenernya kita terpisah bukan karena sekolah kita berbeda tapi karena sudah ada yang menjaga nesya. Aku cuma mundur teratur. Tapi jangan salah, Nesya sekarang adalah manusia reingkarnasi dengan perubahan 180 . Biar tetep cerewet tetapi selalu mengontrol tutur kata. Kemanapun pergi jilbab selalu jadi tutup kepala. Sekarang waktu menyatukan kita. Ya walaupun sama-sama sibuk kuliah tapi selalu nyempetin ketemu, biasanya sih malam minggu kaya gini. Sekarang aku akan menjaga nesyaku, menjaga sobat kecilku. Syukur-syukur dia memang amanat dari Tuhanku untuk hidupku.
Aku marasakan pundakku mendapatkan sebuah beban, membuyarkan lamunan yang telah jauh menggantung bersama angin. Aku mencoba memeriksanya lewat kaca sepionku, sepertinya aku menemukan sesuatu disana.
“Ram,,,,,,,,,,,,,aku bolehkan pinjem pundakmu?”
Suara nesya mengagetkanku bersama dengan teriakan perempuan didepanku.
“Awassssssssssssssssssssssssssssssss,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Dan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,brakkkkk aku menabrak becak dengan penumpang perempuan paruh baya.
“Rama hati-hati dong.” Lanjut nesya
Kuhentikan motorku. Alhamdulillah tidak ada korban. Baik luka ringan, berat maupun korban jiwa. Cuma dadaku sekarang dagdigdug kenceng banget.melebihi nara pidana yang akan dieksekusi mati,. Melebihi pengantin pria yang akan mengikrarkan ijab kabul. Bukan karena abang becak yang ngomel-ngomel memarahiku. Tapi karena nesya, nesya menyandarkan diri sepenuhnya kepudakku, eeeee gak ding Cuma kening doang.
Kita masih diam memandangi keramaian lalu lalang orang yang bermalam mingguan. Kata Jamal mirdad “malam minggu malam yang panjang, malam yang asik buat pacaran” tapi itu tidak berlaku buat aku. Malam minggu kaya gini aku harus nemenin nesya yang manyun, menekuk wajah seperti burung hantu. Diketawain orang ditengah lampu merah, kena marah sama abang becak gara-gara naik motor meleng. Nesya turun dari notorku. Duduk disebuah bangku kecil dibawah pohon beringin.
“Jangan disitu entar dikira anak tuyul ilang. Lagian tu rebutan O2 sama om pohon, entar pingsan repot deh bawa pulangnya.”
“Ihhh ngasal banget sih. Biarinlah mati juga gak papa besok-besok malah mo bawa tambang kesini”
“Yeeeee,,,,,,inget kamu punya utang ma aku Rp10000 makan bakso kemarin. Bayar dulu baru mati”
“Ya Allah pelit banget sih. Duit Rp10000 ja di ributin”
“Bukan pelit. Justru aku sayang kamu karena duit Rp10000 itu bisa menghambat perjalanan kamu di akherat”
“Ram kalo kamu marasakan kerinduan diatas kebencian apa yang kamu lakukan?”
“Mang kangen sama sapa sih???”
“Seseorang yang dulu mengaku kalo aku segalanya.tapi sayang tidak ada yang abadi di dunia ini”
“Ihhh ngomong yang jelas dong!!! Mang siapa sih???”
“Aduhhhhhhhhh.”
“kenapa Sya?”
“Pengin pipis. Ketoilet dulu ya. Rama tunggu sini, nitip tas”
Nesya ngeloyor pergi sambil melempar tasnya. Aku Cuma bisa geleng-geleng kepala ngeliat tingkah nesya yang aneh. Susah ditebak. Memandang tas nesya seperti ada magnet yang menuntun tanganku untuk membukanya. Entah kenapa aku bener-bener penasaran ingin mengetahui isi tasnya. Eitsssss tunggu dulu aku bukan klepto lo. Aku Cuma pengin tahu aja, benda-benda penghuni tas nesya itu apa aja sih? Dengan seribu keberanian kubuka resleting tasnya. Mungkin aku nekad, tapi biarlah. Toh nyatanya rasa penasaranku mengalahkan segala rasa didalam diriku. Aku menemukan minyak angin dengan botol kecil, imut. Aku sempat terkekeh mendapatinya, mungkin orang-orang pikir aku gila, tapi biarlah yang apenting aku puas. Tu anak kaya nenek-nenek pikirku. Aku melihat dompet panjang dengan warna coklat muda bergambar tedy bear, dengan tangan gemetar aku raih benda itu. Sekali lagi aku tidak ada minat untuk mencuri, nyolong atau apalah. Aku sendiri masih heran kenapa rasa penasaranku sebegini besarnya? Kubuka dompet itu perlahan, Subhanaallah aku benar-benar tidak tertarik dengan sejumlah uang yang ada di dompet nesya, kartu ATM? Apa lagi KTP? Gak penting. Tapi aku benar-benar terkejut mendapati sebuah foto dengan wajah ceria nesya dengan seorang cowok.
“Rama ko’ gitu si?!?!?” tiba-tiba nesya datang. Marah. Aku jadi celungukan. Aku bener-bener bodoh diantara orang bodoh. Aku kayak maling yang aketangkap sama tuan rumah.
“Maf sya a,,,,,,,,,,a,,,,,,,,,aku tidak,,,,,,,,,,,”
“Aku ngarti, kamu nggak mungkin nyolong!!!!! Tapi aku gak suka kamu kaya gitu!!! Melanggar privasi tauuu”
“ Iya sya maaaf,,,,,,,,,,tapi jangan ujan lokal gitu dong”
“Mau tak banjiri sekalian!!!”
kami berdua terdiam. Aku nggak perduli nesya marah atau nganggep aku kurang ajar. Yang merajai pikiranku sekarang adalah foto di dompet itu. Aku kenal cowok itu. Seperti halnya keberanianku mengobrak-abrik tas nesya. Aku pun harus punya keberanian untuk menanyakan hal ini.
“Cowok itu siapa sya?”
“Dia yang dulu mengaku aku adalah segalanya. Tapi tidak ada yang abadi ram”
“jadi ini yang bikin nesya nangis, minta pulang dari kafe?”
“cewek mana yang tahan ngeliat orang yang pernah menyakitinya jalan sama cewek lain. Sama sepupu kamu. Sedang dalam segala perubahanku aku masih selalu memohon pada Allah, agar dia kembali lagi sama aku.”
“Kamu berubah karena dia, bukan karena Allah?”
“Entahlah. Aku jadikan jilbab ini sebagai benteng bukan tameng (kedok). Dalam keadaan sepertiku setan mudah mempengaruhi, jadi aku harus punya pegangan yang kokoh. Agama. Tapi sekarang semuanya berakhir. Aku kecewa karena lukaku sendiri.”

“Setetes embun untuk hati yang gersang.
Semoga”

KU UNGKAP RINDU LEWAT FATIKHAH

Tuhan kembalikan dia padaku
Karena ku tak sanggup
berada jauh darinya
Kirimkan malaikat cinta untuknya
sampaikan pesan dariku
yang selalu merindunya

Suara Pingkan Mambo mengalun memenuhi kamar Virda. Kamar yang selama ini aku dan Virda tempati. Menurutku ini terlalu sederhana disebut sebagai kamar, aku lebih suka menyebutnya sebagai surga di dunia bagi Virda. Di sni semua suka, duka, tawa, tercurah. Belajar, berdo’a, berkarya, merenung dan semua hal yang Virda suka ia lakukan disini. Tapi bukan berarti MCK juga dilakukan disini lho. Untuk hal satu itu virda punya tempat khusus tentunya. Beberapa minggu ini Virda gandrung sama lagu merindunya Pingkan Mambo. Aku sampai heran, kaya orang patah hati saja.
Ini hari ke tujuh bulan Ramadhan, tapi aku tidak melihat semangat beribadah pada diri Virda. Meskipun dia tetap memenuhi hak-hak gusti Allah dan menghiasinya dengan seabreg sunah tapi kemuraman tetap menghiasi lesung pipinya. Kulihat wajahnya basah oleh air wudhu bercampur tetesan air mata. Ia kenakan mukenah putih dengan bordir biru, aku masih ingat mukenah itu kado ulang tahun dari ibu, satu paket dengan aku.
Waktu dhuha seperti ini tak pernah ia sia-siakan sekalipun dia sedang KBM aktif di Sekolah ia selalu minta izin pada gurunya untuk melaksanakan 2rakaat di pagi yang suci seperti ini. Ia terisak dalam do’a yang ia panjatkan.
“allaahumma innadh dhuhaa-a dhuhaa-uka walbahaa-a bahaa-uka, wal jamaala jamaaluka wal quwwata quwwatuka,walqudrata qudra tuka wal ‘ismata ismatuka, Allahumma in kaana rizqii fis samaa-I fa-an zilhu, wa in kaana fil ardhi fa-akhrijhu, wa in kaana mu’assiran fayassirhu wa in kaana haraaman fathahirhu, wa in kaana ba’iidan faqarribhu bihaqqi dhuhaa-ika wabahaa-ika wajamaalika, waquwwatika waqudratika,aatinii maa ataita’ibadakash shaalihin”
“YaAllah limpahkanlah rahmat dan rizqiMU pada hamba, kepada kedua orang tua hamba dan orang-orang yang hamba sayangi. ya Allah lindungi mas ganteng dalam setiap pijakan kakinya. Beri kemudahan atas setiap urusanya”
Mas ganteng??? Siapa lagi sih??? Yang aku heran Virda selalu menangis setiap menyebut namanya. tapi sampai hari ini Virda tidak pernah cerita kepada ku mahluk darimana mas ganteng itu. Masih jelas diingatanku pada akhir kelasXI kemarin Virda deket sama seorang cowok, katanya kakak kelas gitu deh! Kayaknya sih dia baik, antar jemput tiap hari. Kaya ojek. Sejak itu Virda selalu tertawa riang dan tersenyum manis tiap do’a-do’a yang ia panjatkan. Tapi tawa itu kini sirna seiring menghilangya abang tukang ojek nan baik hati itu.
Virda mengakhiri do’anya dengan fatihah. Dia melipat seperangkat kostum solatnya. Merebah lemah diatas ranjang berseprai biru. Masih dengan deraian air mata. “mas ganteng, nduk kangen andai mas ganteng masih milik nduk” ingin sekali aku menciumnya seperti dia menciumku setiap sujudnya, setiap khusuknya menjalankan kewajibannya sama gusti Allah.
Kulihat ibu mendekati Virda, mengelus rambutnya. Ibu adalah orang yang paling dekat sama virda dan paling manjain Virda. Maklumlah anak tunggal. Ibu Cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah Virda akhir-akhir ini, kata bapak sih cukup memprihatinkan. Gimana nggak??? Tiap hari kerjaanya Cuma mewek mengurung diri di kamar sampai sakit kaya gini.
“sing putus cinta wong siji ko’ sing repot wong sakdunya”
“ooo,,,,, Virda ngerepotin ibu ya?”
“yaAllah nduk tak kirain kamu bobo? Ibu tidak pernah merasa direpotin sama kamu. Tapi bapak sama ibu kawatir sama kamu, sayangkan kalo anak ibu yang cantik ini kehabisan air mata gara-gara cowok entah berantah itu”
“ibu jangan nyalahin mas ganteng, Virda yang salah, virda yang gak bisa ngertiin dia. Tapi virda sudah berusaha buat ngertiin dia bu. Mungkin mas ganteng benar cuma waktu saja yang belum tepat mempertemukan kita hikz,,,hikz,,,hikz,,,”
“ia ibu tahu, tapi bukan berarti kamu larut dalam kesedihan kaya gini ta? Kalo terjadi sesuatu sama Virda bukan mas ganteng yang kehilangan tapi bapak sama ibu”
“ia bu maafin Virda sudah bikin khawatir bapak sama ibu, Virda cuma butuh waktu buat terbiasa tanpa mas ganteng”
Adzan isya berkumandang, Virda bergegas menuju mushola. Langkahnya terlihat gontai. Wajahnya pasi menggambarkan luka dan kekecewaan terhadap keadaan yang terlanjur terjadi. Virda memilih shaf nomor dua bersebelahan dengan ibu. Dia lebih suka berbaur dengan ibu-ibu dan nenek-nenek saat tarawih dari pada sama anak gadis lainnya di shaf paling belakang, karena shaf belakang rame. Temen-temen sebayanya lebih banyak bercanda dari pada tarawihnya.
Virda menggelarku mengikuti shaf depan. Dimulainya ibadah setahun sekali yang jatuh pada bulan Ramadhan yang kedatangannya dinanti oleh seluruh penghuni langit dan bumi.
Tarawih selesai tepat pukul 20.00WIB tapi belum kultum. Kebetulan tarawih malam ini diimami ustadz Mutaqin tetangga sebelah. Virda biasanya menyapa dengan sebutan kang aqin. Mereka deket, mungkin saling jatuh cinta tapi mereka memutuskan untuk berteman biasa saja. Alasan kang aqin jelas, bahwa pacaran dilarang dalam agama kita. Alasan virda karena virda minder dengan keluarga kang aqin karena virda bukan seorang santri. Karena itu syarat mutlak bagi keluarga kang aqin.
Virda termangu mendengar ceramah kang aqin. Malam ini kang aqin berceramah dengan judul cinta. Waduhh kayaknya pas tu buat Virda yang lagi sakit cinta. bahwa cinta menurut islam itu mempunyai tiga sekala, yang pertama adalah mahabbatullah yaitu cinta kepada Allah, yang kedua mahabbaturasul adalah cinta kepada rasul dan yang terahir adalah mahabbatul jihad yaitu cinta kepada keluarga, lawan jenis, harta benda & hal-hal yang bersifat duniawi. Jadi tidak baik jika manusia mencintai hal duniawi melebihi cintanya kepada sang pencipta.
Mudah-mudahan apa yang disampaikan kang aqin bisa menjadi perenungan buat Virda. Bahwa cinta yang haqiqi adalah cinta kepada Allah bukan termehek-mehek mencintai mas ganteng itu.
Aku lihat firda membaca sms panjang lebar dari kang aqin,
“nok, kang aqn dh tw sma dr ibumu, kang aqn mang blm prnh pth ht tp kang aqn bsa ngrt prsan km skrng. Ttplh jd ce k’at yg kang aqn knl dl sblm km mngnl cnta kpd lwn jnsmu. Mntlh pd gst Allah pa yg trbaik bwt km. jk emg km msh mrndknnya, smpaikn rndumu dg fatihah kpd gst Allah, gst Allah pst akan mnyampaikannya kpd laki2 yang km cntai itu”
“y kang, mkch atas srnny”
“b’at akangmu yg k’ren ni cm mkch??”
“emg kang aqin mnt pa dr vrda”
“kang aqn pngn km optms, bhw gst Allah dh pnya laki2 solh bwt km”
“cnthny kang aqn gtu???”
“husttt ngco km. ya Allahuak’lam lgan km kn skrng kls XII shrsny km mkrn UN bkn co”
“oc pk ustadz”
Malam ini Virda gelisah dalam tidurnya. Balik kanan, balik kiri, tengkurep, telentang. Aku sendiri tidak mengerti apa yang membuatnya begitu gelisah. Mas ganteng kah? Atau sms dari kang aqin? Mas ganteng - mas ganteng siapa sih sebenarnya kamu kenapa membuat virda sebegitu kacaunya.
Virda bangun dari tidurnya.”kang aqin benar, hanya gusti Allah tempat aku mengadu dan mencurahkan segala rindu. Rindu dan cintaku pada mas ganteng akan ku ungkap lewat fatihah. Aku percaya gusti Allah akan menyampaikannya” gumamnya sendiri. Dia lawan dingin yang menusuk sendi dengan mengambil air wudhu, berharap api kegelisahan padam oleh basuhan wudhunya. Virda mengucap takbir dengan bibir bergetar karena menahan dingin. Aku menatap haru setiap sujudnya “sub haana rabbiyal a’laa wabihamdih” terdengar begitu merdu. Ya Allah terimalah sujud Virda, ampuni segala dosanya. Setelah salam virda menengadahkan tanganya melantunkan sejuta harap kepada gusti Allah.
“ya Allah, jika mas ganteng jodohku, aku percaya engkau akan mempertemukan kami kembali dalam keadaan yang baik dan waktu yang tepat. Jika tidak beri aku kekuatan untuk iklas dan melupakannya. Illa hadhratin nabiyyil musthafaa, Muhammadin shallallahu alaihi wasallama khususon Zulfikar Ikhtiar bin khanafi Al fatihah”
Zulfikar ikhtiar???? Jadi yang disebut Virda mas ganteng itu tiar alias Zulfikar ikhtiar, kakak kelasnya dulu yang setia jadi abang ojek tiap hari???
Ibu mendekati Virda yang bersimpuh diatasku
“tiar meneh???”
“bukan salah mas tiar bu, mas tiar tidak pernah menyakiti Virda. Justru Virda yng menyakiti diri Virda sendiri”
“inggih sampun, mriki tak peluk sayang”
“ ihhhhhhhhh ibu ko’ mature koyo mas tiar nek meh meluk Virda”
‘eeeehhhhh anak ibu dah berani main peluk-pelukan ya?!?!?”
“hehehe dikit bu”
“pasrahkan semua sama gusti Allah, karena jodoh, rezeki, sudah tertulis. Sabar ya!”
“mang mas tiar ganteng itu pergi kuliah kemana ta?”
“ke Jakarta bu Virda takut disana mas tiar kepencut sama gadis kota dari pada nantinya virda di hianati lebih baik sekarang virda mutusin berteman saja sama mas tiar.”
“kalo memang seperti itu masalahnya berarti virda harus menerima konsekuensi atas pilihan virda sendiri, nggak boleh nyiksa diri kaya gini. Lagian orang ko’ mudah kemakan sugesti negative. Ini namanya susah di buat sendiri”
“iya bu mulai hari ini Virda janji mo kembali hidup normal, mulai besok virda back to school”
“gitu dong baru anak ibu. Ngomong-ngomong ini sajadah udah kummel juga gak ganti-ganti”
Hahhh mo ngganti aku???? Ibu tega banget sich, jelek-jelek gini kan setia sama virda
‘nggak ah bu, ini kan kado ulang tahun dari ibu sekaligus soulmate virda dalam menjalin cinta sama gusti Allah”
“ya sudah, selesaiin dulu munajatmu habis itu makan sahur”
Alhamdulilah walau usang Virda masih mau mempertahankanku, kirain mo melepas ku gitu aja kaya ngelepas cintanya ma mas tiar itu.
Pagi merambat mendekati imsak , virda tetap bersimpuh setelah makan sahurnya untuk menanti adzan subuh. Sambil terus bermunajah. Masih tentang cinta.
“ya Allah tanamkanlah cintaku pada hati laki-laki yang mencintai-Mu agar bertambah iman di kalbuku. Berikan rinduku pada insan yang memuja-Mu agar rindu hakiki pada rab ku tetap berdetak tiap hembusan nafasku”



Pemalang 11/8/09
19.05WIB
Cinta itu candu
yang membuat hati rindu

Selasa, 12 Januari 2010

Kuangennn

Ingin rasanya da km dsni, dsmpgq memblai rmbt,,,,, eh slh membelai kerudung it lbh tpat hehehe
crita sma suka duka yg sdang menghnggapi rasamu Slng menggenggam tangan, seakan wkt tk ingn mrnggut kbrsamaan qt lg. Merangkai sjuta rncna tntang prtnangan & prnkhn qt.
Huhhhf indahy,,, tp q msh rus sbr u/ it sma krna ktrbtasn wktmu yg membuatq jauh dr gnggaman tngnmu.
& q kn ttap menanti smp dtk itu membwamu u/q, membwa qt pda jnji suci yg tlh qt rangkai. Subhanallah indahy rindu ini.

Kuangennn

Ingin rasanya da km dsni, dsmpgq memblai rmbt,,,,, eh slh membelai kerudung it lbh tpat hehehe
crita sma suka duka yg sdang menghnggapi rasamu Slng menggenggam tangan, seakan wkt tk ingn mrnggut kbrsamaan qt lg. Merangkai sjuta rncna tntang prtnangan & prnkhn qt.
Huhhhf indahy,,, tp q msh rus sbr u/ it sma krna ktrbtasn wktmu yg membuatq jauh dr gnggaman tngnmu.
& q kn ttap menanti smp dtk itu membwamu u/q, membwa qt pda jnji suci yg tlh qt rangkai. Subhanallah indahy rindu ini.