Jumat, 22 Oktober 2010

BAPAK

Aku mencoba menghitung keriput di wajahnya, di tangan dan semua sudut yang dapat dan bisa aku jangkau. Sungguh aku tak mampu menghitungnya walau jari-jari semua manusia di dunia ini ku jadikan media. Kali ini aku pandang rambutnya, sebenarnya aku sungguh ingin menghitung setiap helai rambut putihnya. Jika seumur hidup yang aku punya ku habiskan untuk melakukan itu aku percaya tidak semua rambut putih itu dapat terhitung oleh tangan dan umurku. Sesekali ku belai rambut putih itu, aku pijit tubuhnya dan kurasakan setiap sentuhan keriput Bapak di ujung jemariku. Aku bahagia karena dapat menjaganya, memijitnya disaat senja seperti ini setelah aku pulang kerja. Capek? Tidak, aku tidak pernah merasa capek untuknya apalagi ada senda gurau Ibu yang setiap saat menghiburku. Apakah ini yang dirasakan Bapak sama Ibu dulu, waktu aku balita? Tapi aku rasa tidak, karena semua ini belum dapat membalas apa yang telah mereka berikan untuk hidupku. Jasa-jasa Bapakku, dari Bapak memilihkan calon Ibu untukku (tentunya sebelum aku ada) seorang Ibu yang penuh dengan ketulusan dan pengabdian. Sampai upayanya mencerdaskan dan merangkai masa depanku. Tentunya banyak hal yang beliau berikan padaku yang tidak dapat tertuang disini. Dan satu hal yang tak pernah ku sesali, Bapak selalu memaksakan kehendaknya (tentunya hal-hal yang baik) padaku. Yang sejauh ku sadari hal itu membentuk pribadi yang positif dan membuat aku bertindak, berfikir sesuai umurku.
* * *

“Aku teringat dulu saat aku lulus SMK. Aku punya impian besar tentang Jakarta. Aku pikir Jakarta dapat mengubahku, orang tuaku dan perekonomian kami. Aku pikir disanalah gerbangku meraih masa depan. Berfikir simple seperti gadis-gadis desa lain, bekerja di Jakarta, bertemu jodoh dan kemudian menikah. Tapi semua harapan itu pupus dan aku harus menguburnya dalam-dalam karena Bapak tidak pernah memberi restu untuk hal itu. Bapak mempunyai cita-cita dan harapan yang tinggi tentang aku.
“Sudahlah Pak, aku nggak mau ngrepotin Bapak”
“Justru kalau kamu nggak mau kuliah kamu ngrepotin Bapak”
“Tapi kita kan cuma orang desa Pak. Lagian aku gak mau Bapak sampai jual sawah buat nguliahin aku. Aku dah tamat SMK saja dah lebih dari cukup”
“Emang orang desa nggak boleh pinter? Kamu tu ragile Bapak nek mbesuk kamu dewasa Bapak sudah tidak ada, senggak-nggaknya Bapak sudah membekali kamu dengan ilmu yang akan memulyakan hidupmu.”
“Tapi bekerja di Jakarta juga bisa nabung, beli sawah, kebun untuk infestasi masa depanku”
“(nada bicara Bapak meninggi) Jakarta itu tak semudah yang kamu pikir. Lagian Bapak bukan menginginkan kamu punya materi berlimpah tapi Bapak juga pengin kamu punya ilmu yang bisa kamu amalkan di kampung kita ini. Sudahlah kamu nggak punya pilihan, besok ke kota sama Bapak ndaftar ke kuliahmu.”
Aku terdiam bersama butiran-butiran kristal di mataku. Aku merasa sudah tidak ada hak di dunia ini untukku. Aku sudah tidak ada daya untuk membuatnya mengerti aku dan ini yang kesekian kalinya aku beradu argumen dengan Bapak dan seperti biasa ada Ibu ditengah-tengah kami mendamaikan kami.

* * *
Tanpa perlawanan akhirnya aku menuruti semua keinginan Bapak. Aku fikir mungkin Bapak benar. Materi tanpa sebuah ilmu akan hampa. Dan Bapak pengin kedua sisi itu ada pada diriku kelak. Aku ke kota dengan semangat, restu, cita-cita dan tentunya sedikit uang yang semuanya adalah milik Bapak bukan aku. Mungkin aku dilahirkan untuk menjadi robot remot kontrolnya Bapak. Ya….dari kecil setiap apa yang aku perbuat adalah perintah Bapak, tidak pernah aku bergerak dengan tubuhku tidak pernah aku berdiri diatas kakiku sendiri. Belum pernah aku merasa segundah ini. Aku benar-benar takut Ibu dan Bapakku kerepotan karena biaya kuliahku. Hatiku teriris saat aku tahu ternyata Bapak meminjam uang kepada adiknya Ibu, sebesar……..ah…….aku tidak kuasa untuk menyebutkannya dan ternyata uang itu adalah uang yang aku pegang sekarang untuk biaya pendaftaran kuliahku. Memang saat ini padi di sawah Bapakku belum siap dipanen tapi kenapa Bapak merahasiakan pinjamannya, kenapa harus orang lain yang memberitahuku. Apa Bapak malu padaku? Atau Bapak tidak mau aku merasakan kesulitannya? Bapak memang kerap memperlakukan aku seperti ini memaksaku dengan kehendaknya, merahasiakn setiap perih dan susah dihatinya dan memberi setiap yang dia punya. Apa bagi Bapak aku bayi? Jujur, kuliah adalah impian dihidupku, tapi aku tidak pernah mengutarakannya bahkan aku harus berpura-pura tidak menginginkan kuliah di depan Bapak dan Ibuku, karena aku tidak mau hal ini terjadi.

* * *
Sekarang aku adalah mahasiswi di perguruan tinggi yang cukup terkenal di sebuah kota yang sangat panas. Aku hidup di sebuah kos-kosan yang sangat murah dibanding dengan teman-teman sekelasku yang lain. Kalau ditanya keadaannya, ya tentunya sesuai dengan harganya, bagiku dapat berteduh saat panas dan hujan itu sudah lebih dari cukup. Kadang-kadang aku ingin seperti teman-teman yang lain jalan-jalan ke pusat perbelanjaan untuk sekedar menikmati es krim di kafe, tapi aku kubur semua keinginan itu. Aku harus selalu mengingat betapa Bapak susah payah mengelola sawah dan kebun agar menghasilkan uang untuk kuliahku. Jadi sedapat mungkin aku harus prihatin dan tidak boros.
Aku hidup memang dari tangan dingin Bapak dan Ibu yang mengelola kebun dan sawah peninggalan kakek. Di kebun dan sawah itu terdapat macam-macam tumbuhan ya sudah barang tentu ada padi. Itu penghasilan terbesar Bapak. Ada juga cabe, timun, kacang panjang, pete, rambutan, mangga. Semua itu adalah sumber kehidupan keluargaku. Aku menimba ilmu di kota panas ini juga bermodal dari keuletan Bapak.
Aku bersyukur mempunyai orang tua yang Cuma seorang petani biasa, yang hanya mengenai huruf latin dari A sampai Z dan huruf hijaiyah dari alif sampai ya, tapi mereka mempunyai jalan fikiran yang panjang, maju. Mereka pengin aku menjadi seorang sarjana dan mempunyai peran di masyarakat dengan keterbatasan materi yang mereka miliki. Dan kedua orang tuaku tidak pernah mengenal putus asa dalam mewujudkan hal itu. Padahal aku kadang takut Bapak Ibuku kehabisan akal mendapatkan uang untuk membayar sks ku, aku takut Bapak menjual kebun dan sawahnya, karena cuma itu yang mereka punya. Aku bersyukur ketiga saudaraku yang sudah berumah tangga masih memperdulikan kami dan sedikit banyak membantu Bapak menguliahkan aku.

* * *
Awan yang menggelayut pilu dan matahari mengintip dibaliknya, membuat siang yang panas menjadi redup dan cuaca seperti ini membuat badanku sedikit meriyang. Terbersit keinginan dibenakku untuk menelfon Bapak. Ya aku kangen dengan semua aturan-aturan tak tertulis yang dibuat Bapak di rumah, aku pun masih mematuhinya waktu aku jauh dari Bapak. Bagiku aturan tetaplah aturan walau si pembuat aturan tak mengawasi. Tapi aku kangen setiap Bapak mengingatkanku setiap aku melanggar. Berbicara dengan nada keras tapi tetap lembut terdengar. Aku juga kangen suara Ibu yang cempreng tapi penuh kasih saying. Sebenarnya sih aku mau meminta uang bulananku yang hampir habis.
“Halo” suara di seberang memekik di telingaku.
“Halo mba Mar, maaf mengganggu boleh minta tolong, aku mau bicara sama Bapak”
“O…Bapakmu masih di sawah. Ntar habis dhuhur kamu nelpon lagi saya”
“Ya sudah mba nanti aku telepon lagi, makasih ya mba” Ku tutup teleponku.
Kini matahari tak lagi mengintip di balik awan, siang telah dikuasainya dan awan-awan pun terbang menghinggapi perasaanku. Aku sedih karena panas-panas seperti ini, waktunya orang-orang pulas dengan tidur siangnya di bawah kipas angin. Orang-orang kantor menikmati makan siang di kantin favorit yang ruangannya berAC, tapi Bapakku, dia harus bergelut dengan lumpur sawah bersenjatakan cangkul diterik panas seperti ini hanya demi aku, agar nantinya aku jadi orang. Ku tahan setiap butiran-butiran yang hendak menggelinding dari mata ke pipiku. Ku ambil air wudhu. Ku dirikan sholat. Tak lupa ku panjatkan doa untuk Bapak dan Ibu agar Allah melimpahkan segala berkah kepada mereka.
Ku raih HP bututku kembali. Ku coba menghubungi mbak Mar di kampung agar aku bisa bicara dengan Bapak.
“Halo nok. Sebentar ya tak bawa neng omahmu dulu”, sapanya ramah.
“Iya mba”, aku menunggu sampai aku mendengar suara laki-laki separuh baya menyapaku.
“Halo nok, piye kabare? Kuliahmu tetep lancar to?”
“Iya pak kabarku baik-baik saja. Kuliahe lancar ko. Bapak sendiri bagaimana sehat? Ibu juga sehat to?”
“Iya nok, Bapak karo Ibu sehat ko. Kowe ra usah kawatir. Sing penting kamu sehat, sinau tenanan. Piye kamu ada perlu apa?”
“Iya Pak aku selalu mengingat dan melaksanakan nasehat Bapak. Gini Pak uang bulananku sudah habis kalau bisa Bapak segera mengirimnya.”
“Iya nok Bapak tahu tapi maafin Bapak, Bapak belum bisa ngirim uang sekarang karena tanaman timun yang kemarin gagal panen. Dan padinya baru bisa dipanen satu bulan lagi. Bapak harap kamu mengerti, kamu makan seadanya dulu. Sekali lagi maafin Bapak ya nok”
“Iya Pak, aku ngerti. Kalau memang Bapak belum ada tidak usah terlalu dipikirkan. Aku mau cari kerja biar bisa punya uang sendiri buat makan. Ibu mana?”
“Kamu nggak boleh kerja nok ntar kuliahmu terbengkalai. Ibumu sedang keliling jual cabe yang Bapak petik tadi pagi di sawah. Sudah ya Bapak harus ke kebun ada yang harus dikerjakan. Kamu jangan lupa solat, jaga diri baik-baik”
“Iya Pak, Bapak juga baik-baik. Jangan terlalu capek. Sungkem buat Ibu”
Kali ini ku biarkan mataku mengeluarkan butiran-butiran kecil yang menggelinding ke pipi, menetesi seprai biru menimbulkan bercak yang nyaris seperti kristal. Hatiku perih seolah-olah belati menyayat-nyayat perasaanku, bukan karena Bapak tidak bisa mengirimi aku uang tetapi karena Bapak Ibuku begitu gigih memperjuangkan pendidikanku. Yang lebih mengherankanku mereka tidak pernah mengizinkan aku bekerja di sini. Kata mereka, ini saatnya aku belajar bukan bekerja. Saat aku bekerja adalah ketika aku sudah menyandang title sarjana.
Sebenarnya kejadian seperti ini baru pertama kali, tidak biasanya Bapak jujur padaku mengenai kesulitan keuangan. Mereka selalu mengatakan ada saat aku butuh dan memberikan senyuman terbaiknya. Padahal aku tahu betapa berat beban yang mereka rasakan. Apa sekarang Bapak sama Ibu benar-benar dalam keadaan terjepit?

* * *
Seperti biasa, setiap senja sepulang kerja aku selalu memijit Bapak tanpa diminta, kadang Ibu juga ku pijit. Sekarang sudah tidak lagi Bapak ke sawah dan ke kebun, karena semua pekerjaan di sawah dan kebun dilakukan oleh pekerja Bapak. Aku sengaja mencarikan agar Bapak dan Ibu menikmati masa tuanya di rumah tanpa bekerja. Paling sesekali mereka menengok kebun dan sawahnya. Aku masih memijit bahu Bapak, Ibu duduk di sampingku dengan lembut Ibu berkata,
“Kapan kamu nikah nok?”
“Nanti bu kalau saya sudah ngebahagiain Bapak sama Ibu, di jodohin juga mau he………yang penting Bapak sama Ibu bahagia.”
“Kamu tu sudah ngebahagiain kami nduk, kamu sudah sarjana, sudah kerja dan kamu aktif setiap kegiatan di kampung kita. Kamu juga punya peran penting dalam pembangunannya. Dan Bapak sama Ibu akan lebih bahagia kalo kamu menikah.”
Aku tersenyum mendengar ucapan Bapak. Ya Bapak telah menjadikanku seseorang di kampung kelahiranku ini dan orang-orang kampung tahu itu tapi orang-orang kampung tidak tahu bahwa jasa-jasa Bapak jauh lebih banyak dari uban dan keriputnya.


Semarang, 19 Desember 2008


Untuk Bapak sama Ibu
yang membuat aku mandiri
ditengah kota yang panas ini.

Telah diterbitkan dalam antologi cerpen
dengan judul BILA BULAN JATUH CINTA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar